Haloo guys kalian pasti tahu dong mengenai cerpen? kan udah dipelajari di sekolah masing-masing.
Cerpen merupakan suatu karya sastra naratif yang memiliki ciri "dibaca sekali duduk", nah di sini gue punya suatu cerpen, ya mungkin endingnya kurang sip. namanya juga lagi belajar. lo yang baca bisa komen dah. monggo!! :)
gue sih bingung ini cerita apa. loe simpulin sendiri yak. Oke?
Malam ini hujan
sedang sibuk menemani seorang lelaki yang menangis menyesal dengan
kehidupannya. Badan yang tak terlalu kekar, mata yang tajam, hidung yang
menjulang, dengan lesung pipi sedang duduk berteduh di bawah sinar rembulan
yang tertutupi hujan. Badannya basah kuyup, meskipun ia menggigil namun ia
enggan beranjak dari tempat ia menenggerkan tubuhnya. Bagaikan akar yang telah
dalam menancap ke bumi. Dia tak nampak menangis karena air matanya mengalir
bersama air hujan yang mengguyur rambutnya.
“Tuhan, apakah harus
seperti ini? Aku selalu kesepian, bukankah Engkau Yang Maha Melihat Tuhan?
Engkau sedang melihatku menangis kali ini di bawah hujanmu.” Adunya pada Tuhan
di malam ini.
Sudah biasa Adit
menangis di malam hari ketika ia sendiri, namun bagi orang lain ini bukan hal
yang biasa bahkan teman dekatnya sendiri. Sungguh pandai Adit menyembunyikan
perasaan tersiksa dan tertekan. Teman-temannya selalu melihat dia tersenyum,
ceria, dan seolah tak punya rasa capek. Adit adalah anak yang aktif di
sekolahnya, banyak aktivitas positif yang ia ikuti. Itulah yang membuat
teman-temannya berfikir bahwa Adit tak pernah punya masalah, dan apabila ada
kesalahan yang dia perbuat dia hanya akan tertawa dan akan memperbaiki
kesalahannya dengan senyuman manisnya.
“Tuhan seandainya
malam ini aku tak kuasa menahan dingin dari sang angin malam akankah Engkau
mencabut nyawaku malam ini juga? Dan akankah kedua orang yang aku anggap
malaikat pelindungku akan peduli lagi padaku jika aku telah tiada di muka bumi
ini?” lanjutnya bicara di tengah heningnya malam. Dia pun berteriak sekencang
mungkin dan tak akan seorang pun mendengar teriakannya kecuali Mbok Inem dan
anaknya yang senantiasa setia menjaga vila keluarga Adit. Sudah barang biasa
Adit menempati vilanya hanya sendiri karena kedua orang tuanya terlalu sibuk
dengan karirnya masing-masing. Jarang Adit bisa berkumpul bersama dengan orang
tuanya bahkan hanya untuk bertemu saja selalu susah walau hanya sedetik saja
itu jarang ia temui. Syukurlah meskipun tanpa ada perhatian dari orang tuanya
dia tidak pernah menjerumuskan dirinya pada hal-hal yang sekiranya merusak masa
depan anak-anak muda. Dia masih memahami arti kehidupan meskipun itu milik
orang lain. Dan dia selalu mendapatkannya dari Mbok Inem dan Anisa anak Mbok
Inem. Suami mbok Inem yang sering mengajari Adit Sholat, dan untuk mengaji
maupun pelajaran moral mbok inem sendiri yang mengajarkannya.
Seusai ia
berteriak malam itu, Anisa keluar dengan membawa payung mencoba melindungi Adit
dari hantaman tetesan hujan yang sedingin es. Maklumlah udara di puncak memang
dingin. Anisa dengan suara lembutnya mengajak Adit masuk ke vila. Suara Anisa
benar-benar lembut, bagi seorang kaum adam dia mungkin adalah seorang bidadari.
Bahkan Adit selalu terkagum mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari mulut Anisa,
dalam hatinya dia selalu tak ingin bila Anisa berhenti melantunkan ayat-ayat
yang ia baca itu. Dengan tergopoh-gopoh Adit berjalan, Anisa mencoba
menuntunnya masuk ke vila. Mbok Inem telah menyiapkan handuk dan air hangat di
ruang tamu.
“duduk Dit
jangan berdiri terus.”tukas Anisa, namun Adit hanya diam.
Adit akhirnya
duduk di sofa ruang tamu vilanya, namun seketika suasana menjadi hening.
“Nduk kamu
tolong ambilkan jaket dan selimut untuk
Adit, biar ibu bilang ke Adit untuk mandi.”bisik mbok Inem ke telinga anak
gadisnya itu.
“Baik ibu.”
Anisa mengambil
segala yang MbokInem perintahkan. Dan saat ia kembali ke kamar tamu Adit telah
selesai mandi. Segera Anisa memberikan jaket dan selimut kepada Adit. Anisa
merasa kasihan kepada Adit, dia ingin sekali selalu ada buat Adit dan selalu
menjaganya namun apadaya. Anisa berusia tujuh belas tahun, dua bulan lebih muda
dari Adit. Adit berdiri dan meninggalkan ruang tamu dan menuju kamarnya untuk
tidur dan meninggalkan mbok Inem dan Anisa.
Mentari telah
terbit di keesokan harinya, dedaunan kembang kempis mengeluarkan kabutnya,
embun bertahan mendapatkan cahaya mentari. Adit telah bangun dari bunga
tidurnya, dan Anisa telah membantu ibunya sejak bangun jam 4 subuh. Entah apa
yang merasuki Adit, Adit segera bergegas mandi dan berpakaian kasual. Ia
menghampiri mbok Inem dengan senyum yang cerah seolah semalam tak terjadi
apa-apa. Hal biasa bagi mbok Inem.
“Pagi mbok Inem.
Anisa mana?”
“Pagi Dit, itu
Nisa ada di halaman belakang lagi siram tanaman.”
“Mbok Adit ajak
Nisa jalan-jalan ke kebun ya, ntar sarapannya nyusul aja bareng Nisa setelah
jalan-jalan.”
Mbok inem hanya
mengangguk. Dengan segera Adit mendatangi Nisa di belakang dan langsung
menggandeng tangannya untuk jalan.
Mereka adalah remaja tujuh belas tahun tentunya ada bunga-bunga kasih di
antara mereka. Dan di perjalanan mereka disuguhi pemandangan yang luar biasa
Indah. Sejuk rasanya.
“Nis Aku mau
ngomong”tukas Adit tiba-tiba.
“Ngomong aja
Dit.”
Tanpa basa basi
Adit mengungkapkan apa yang ada di hatinya,”Nis aku mau ngucapin makasih buat
semua hal yang udah kamu dan keluargamu perbuat untukku, aku belajar banyak
kehidupan, dan seandainya orang tuaku peduli dengan ku mungkin aku gak akan
seperti ini.”
“Iya Dit gapapa,
aku tamu yang kamu rasakan. Aku akan selalu ada buat kamu Dit.”
“makasih Nis. Oh
y Nis jujur aku sayang sama kamu Nis.”
Nisa terkejut
mendengar kata-kata Adit. Air matanya menggenang d kelopak matanya, dia tak
menyangka. Adit pun memeluknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar