Minggu, 15 Maret 2015

Lo Boleh Kasih Judul Sesuka Lo


Haloo guys kalian pasti tahu dong mengenai cerpen? kan udah dipelajari di sekolah masing-masing.

Cerpen merupakan suatu karya sastra naratif yang memiliki ciri "dibaca sekali duduk", nah di sini gue punya suatu cerpen, ya mungkin endingnya kurang sip. namanya juga lagi belajar. lo yang baca bisa komen dah. monggo!! :)
gue sih bingung ini cerita apa. loe simpulin sendiri yak. Oke?



Malam ini hujan sedang sibuk menemani seorang lelaki yang menangis menyesal dengan kehidupannya. Badan yang tak terlalu kekar, mata yang tajam, hidung yang menjulang, dengan lesung pipi sedang duduk berteduh di bawah sinar rembulan yang tertutupi hujan. Badannya basah kuyup, meskipun ia menggigil namun ia enggan beranjak dari tempat ia menenggerkan tubuhnya. Bagaikan akar yang telah dalam menancap ke bumi. Dia tak nampak menangis karena air matanya mengalir bersama air hujan yang mengguyur rambutnya.

“Tuhan, apakah harus seperti ini? Aku selalu kesepian, bukankah Engkau Yang Maha Melihat Tuhan? Engkau sedang melihatku menangis kali ini di bawah hujanmu.” Adunya pada Tuhan di malam ini.

Sudah biasa Adit menangis di malam hari ketika ia sendiri, namun bagi orang lain ini bukan hal yang biasa bahkan teman dekatnya sendiri. Sungguh pandai Adit menyembunyikan perasaan tersiksa dan tertekan. Teman-temannya selalu melihat dia tersenyum, ceria, dan seolah tak punya rasa capek. Adit adalah anak yang aktif di sekolahnya, banyak aktivitas positif yang ia ikuti. Itulah yang membuat teman-temannya berfikir bahwa Adit tak pernah punya masalah, dan apabila ada kesalahan yang dia perbuat dia hanya akan tertawa dan akan memperbaiki kesalahannya dengan senyuman manisnya.

“Tuhan seandainya malam ini aku tak kuasa menahan dingin dari sang angin malam akankah Engkau mencabut nyawaku malam ini juga? Dan akankah kedua orang yang aku anggap malaikat pelindungku akan peduli lagi padaku jika aku telah tiada di muka bumi ini?” lanjutnya bicara di tengah heningnya malam. Dia pun berteriak sekencang mungkin dan tak akan seorang pun mendengar teriakannya kecuali Mbok Inem dan anaknya yang senantiasa setia menjaga vila keluarga Adit. Sudah barang biasa Adit menempati vilanya hanya sendiri karena kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan karirnya masing-masing. Jarang Adit bisa berkumpul bersama dengan orang tuanya bahkan hanya untuk bertemu saja selalu susah walau hanya sedetik saja itu jarang ia temui. Syukurlah meskipun tanpa ada perhatian dari orang tuanya dia tidak pernah menjerumuskan dirinya pada hal-hal yang sekiranya merusak masa depan anak-anak muda. Dia masih memahami arti kehidupan meskipun itu milik orang lain. Dan dia selalu mendapatkannya dari Mbok Inem dan Anisa anak Mbok Inem. Suami mbok Inem yang sering mengajari Adit Sholat, dan untuk mengaji maupun pelajaran moral mbok inem sendiri yang mengajarkannya.

Seusai ia berteriak malam itu, Anisa keluar dengan membawa payung mencoba melindungi Adit dari hantaman tetesan hujan yang sedingin es. Maklumlah udara di puncak memang dingin. Anisa dengan suara lembutnya mengajak Adit masuk ke vila. Suara Anisa benar-benar lembut, bagi seorang kaum adam dia mungkin adalah seorang bidadari. Bahkan Adit selalu terkagum mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari mulut Anisa, dalam hatinya dia selalu tak ingin bila Anisa berhenti melantunkan ayat-ayat yang ia baca itu. Dengan tergopoh-gopoh Adit berjalan, Anisa mencoba menuntunnya masuk ke vila. Mbok Inem telah menyiapkan handuk dan air hangat di ruang tamu.

“duduk Dit jangan berdiri terus.”tukas Anisa, namun Adit hanya diam.
Adit akhirnya duduk di sofa ruang tamu vilanya, namun seketika suasana menjadi hening.

“Nduk kamu tolong  ambilkan jaket dan selimut untuk Adit, biar ibu bilang ke Adit untuk mandi.”bisik mbok Inem ke telinga anak gadisnya itu.

“Baik ibu.”

Anisa mengambil segala yang MbokInem perintahkan. Dan saat ia kembali ke kamar tamu Adit telah selesai mandi. Segera Anisa memberikan jaket dan selimut kepada Adit. Anisa merasa kasihan kepada Adit, dia ingin sekali selalu ada buat Adit dan selalu menjaganya namun apadaya. Anisa berusia tujuh belas tahun, dua bulan lebih muda dari Adit. Adit berdiri dan meninggalkan ruang tamu dan menuju kamarnya untuk tidur dan meninggalkan mbok Inem dan Anisa.

Mentari telah terbit di keesokan harinya, dedaunan kembang kempis mengeluarkan kabutnya, embun bertahan mendapatkan cahaya mentari. Adit telah bangun dari bunga tidurnya, dan Anisa telah membantu ibunya sejak bangun jam 4 subuh. Entah apa yang merasuki Adit, Adit segera bergegas mandi dan berpakaian kasual. Ia menghampiri mbok Inem dengan senyum yang cerah seolah semalam tak terjadi apa-apa. Hal biasa bagi mbok Inem.

“Pagi mbok Inem. Anisa mana?”

“Pagi Dit, itu Nisa ada di halaman belakang lagi siram tanaman.”

“Mbok Adit ajak Nisa jalan-jalan ke kebun ya, ntar sarapannya nyusul aja bareng Nisa setelah jalan-jalan.”

Mbok inem hanya mengangguk. Dengan segera Adit mendatangi Nisa di belakang dan langsung menggandeng tangannya untuk jalan.  Mereka adalah remaja tujuh belas tahun tentunya ada bunga-bunga kasih di antara mereka. Dan di perjalanan mereka disuguhi pemandangan yang luar biasa Indah. Sejuk rasanya.

“Nis Aku mau ngomong”tukas Adit tiba-tiba.

“Ngomong aja Dit.”

Tanpa basa basi Adit mengungkapkan apa yang ada di hatinya,”Nis aku mau ngucapin makasih buat semua hal yang udah kamu dan keluargamu perbuat untukku, aku belajar banyak kehidupan, dan seandainya orang tuaku peduli dengan ku mungkin aku gak akan seperti ini.”

“Iya Dit gapapa, aku tamu yang kamu rasakan. Aku akan selalu ada buat kamu Dit.”

“makasih Nis. Oh y Nis jujur aku sayang sama kamu Nis.”

Nisa terkejut mendengar kata-kata Adit. Air matanya menggenang d kelopak matanya, dia tak menyangka. Adit pun memeluknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar